Patriarki dan Suami Siaga, Celah Penting Atasi Stunting

 

Alfian, istri dan anaknya sedang bermain di halaman belakang rumah

Kasus stunting di Lombok Timur, NTB terbilang tinggi. Salah satu penyebab karena keterlibatan ayah dan beban ganda yang dilimpahkan kepada perempuan.

Fitriah duduk seorang diri di teras rumahnya. Perempuan 35 tahun itu sedang membawa anak ketiganya yang baru saja berusia 9 bulan. Tidak lama kemudian Fitriah pergi menemui anak keduanya yang bermain tidak jauh dari rumahnya. Namanya AHI (inisial, red).

Ia kini berusia 5 tahun. Namun berbeda dengan kakak dan adiknya, AHI mengalami stunting. Berat badannya tidak lebih dari 10 kg. Sejak usianya 6 bulan, AHI mengalami berat badan yang tidak pernah stabil. bahkan selalu mengalami penurunan hingga saat ini.

AHI tidak pernah merasakan kehadirannya saat di dalam kandungan hingga kelahirannya. Fitriah mengandung AHI setelah suaminya merantau ke luar negeri. ''Saya tau hamil tidak lama setelah suami berangkat lagi ke Malaysia,'' kenang Fitriah.

Waktu hamil anak kedua Fitriah sering sekali terpikirkan oleh suaminya. Hal itu jangan tenang. Ketidahadiran sosok suami di sampingnya pada kehamilan anak keduanya itu menjadi beban tersendiri. Kondisi ini berbeda dengan saat ia hamil anak pertama. “Apalagi banyak omongan-omongan tetangga yang negatif tentang suami saya,” ceritanya.

Di tengah kehamilannya yang penuh rasa tertekan, Fitriah tetap menjalani kehidupannya sehari-hari dengan menjadi buruh tani. Ia menjadi potret buramnya nasib perempuan yang hidup di Desa Rumbuk Timur. Dua kali kelahiran tanpa kehadiran suami di sampingnya.

Dengan wajah penuh harapan, Fitriah mengaku, saat itu ia ingin sekali melihat sang suami ada di depan. Baik saat hamil, juga melahirkan. Tapi menahan keinginannya.

Situasi jauh dari suami sudah menjadi kebiasaan Fitriah. Sejak pernikahannya dalam satu tahun, ia lebih sering ditinggalkan. Baru dua tahun kemudian suami pulang. Itupun hanya sebentar. Begitu seterusnya hingga sebelas tahun berlalu.

Fitriah menuturkan, kehamilan anak pertama dan anak kedua memang tidak memiliki perbedaan. Sama-sama tanpa kehadiran sosok ayah. Hanya saja, nasib berkata lain, putri keduanya mengalami stunting. AHI adalah 1 dari 160anak yang mengalami stunting di Desa Rumbuk Timur, Kabupaten Lombok Timur.


Penyebab terjadinya stunting bukan hanya soal kebutuhan gizi. Namun ketidaksiapan pasangan suami istri yang menikah muda dan faktor ekonomi juga menjadi pemicu. Termasuk keterlibatan suami dalam mendukung pertumbuhan anak sejak dalam kandungan.

Selama 5 tahun, terhitung hanya sekali Fitriah membawa putrinya ke puskesmas. Sisanya lebih sering ke dukun. Cara itu terpaksa

ditempuh. Karena semua keputusan itu sendiri, tanpa kehadiran seorang suami. “Tapi tetap saja berat berat engga naik-naik,” ungkap Fitriah dengan nada sendu.

Upaya sang ayah yang diharapkan membantu pencegahan stunting, tidak berjalan mulus. Fitriah lebih sering mendengar nada pasrah. Suaminya sudah menganggap jika stunting yang dialami sebelumnya merupakan suatu masalah yang harus diatasi. Karena ia yakin jika kondisi yang dialaminya sudah menjadi bagian dari kehendak yang Maha Kuasa. "Diterima saja, sudah menjadi bagian hidupnya, nanti akan berhenti kalau sudah akhil baliq" ungkap Fitriah mengenang kata suaminya.


Bidan Tepis Hal Mistis

Di tempat yang berbeda, saya menemui Siti Nuril Ain, seorang bidan desa yang telah mengabdikan dirinya selama 9 tahun lebih. Menjadi bidan desa memahami betul tentang kondisi masyarakat di desa itu.

Bidan Nuril menyampaikan, data stunting tahun ini mengalami kenaikan sebanyak 30 persen. Dari 70 orang anak yang mengalami stunting, kini naik menjadi 160 orang anak.

Ia bercerita, banyak warga yang tidak percaya jika anak-anak mengalami stunting karena faktor keturunan. Namun sebagai bidan, ia berusaha menjelaskan kalau stunting bisa terjadi bukan dipengaruhi gen.

Banyak orang tua yang tidak sadar, bahkan kurang memperhatikan makanan yang dikonsumsi saat hamil. Selama menjadi bidan desa, Nuril mengaku banyak menemukan ibu-ibu yang takut makan makanan yang terjangkau karena dianggap pantangan. Misalnya seperti gurita. Konon, bila memakan gurita menyebabkan bayi yang berada di dalam perut terlilit. ''Padahal dari kesehatan itu tidak ada masalah,'' ungkapnya.

Ia pun mengungkapkan, sebagian masyarakat masih banyak yang percaya tentang hal mistis. Tidak heran jika selama kehamilan perempuannya lebih banyak yang memeriksakan diri ke bidan atau dokter.

Selain itu, masyarakat di desa tersebut rata-rata memiliki aktivitas yang tinggi. Terutama dalam melayani suami sehari-hari, bahkan menjadi buruh tani lepas untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Kadang-kadang Bidan Nuril menemukan perempuan yang hamil tua maupun muda yang jarang ditemani oleh suami saat mengecek

kehamilan. ''Jangankan untuk ikut posyandu, memastikan keadaan calon buah hati saja tidak pernah ditemukan,'' katanya.

Rata-rata suami kurang memperhatikan kondisi istri. Banyak perempuan yang sedang hamil tua tidak bebas istirahat total. Mereka masih saja diberi beban pekerjaan, dari mencuci pakaian, memasak hingga ke

ladang. Kesadaran suami untuk membantu istri dalam pekerjaan rumah tangga masih rendah. Ditambah lagi kondisi masyarakat yang patriarki, melegalkan beban rumah tangga yang ditanggung istri.

Jangankan memahami mental dan psikologis perempuan, Bidan Nuril mengaku kerap dibuat kesal dengan tingkah laku para suami. Banyak perempuan yang sedang hamil takut untuk beristirahat berhari-hari tanpa mengerjakan apapun. Padahal kondisi itu memaksanya harus istirahat total. ''takut tidak bekerja berdasarkan perintah suami,” cetusnya mengungkap alasan ibu hamil tetap.

Kondisi ini pada dasarnya membuat siapapun tidak bisa menutup mata. Peran ganda perempuan membuat perempuan tertekan. Banyak perempuan- perempuan lain seperti Fitriah yang kini sedang menjadi tumpuan dibalik kondisi masyarakat yang menjunjung tinggi patriarki.

Pemerintah desa hingga kabupaten tidak bisa menutup mata. Kasus stunting yang terjadi di tengah masyarakat ini seperti tumpukan gunung es yang tidak akan pernah usai. Ada hal yang tak terlihat seperti kondisi masyarakat patriarki dan tidak adanya peran ayah. Dua masalah ini juga menjadi pemicu stunting.


Potret Suami Siaga

Potret suami siaga terlihat pada keluarga Fatih Kudus Jaelani, warga Kecamatan Selong, Kabupaten Lombok Timur. Ayah muda berusia 33 tahun itu hadir sebagai suami siaga. Kesadaran atas pentingnya peran laki-laki dalam rumah tangga yang memahami tentang gender.

Fatih menceritakan, dia tidak bisa membayangkan bagaimana beratnya beban menjadi perempuan apalagi saat hamil. Mengorbankan tubuhnya yang menyebabkan Strech Match perubahan perut pasca melahirkan. “Makanya

saya banyak ngambil peran nyuci piring dan beresin rumah,” terang Fatih saat ditemui di Arpusda bersama anaknya. ''Mandiin anak juga saya,'' sambungnya.

Ia menuturkan, istrinya kala melahirkan secara Caesar. Ia tahu bagaiman a efek pasca melahirkan dengan metode Caesar. Belum lagi pada saat itu istrinya harus menyusui anaknya yang baru lahir. Fatih tidak mungkin membiarkan istirnya bekerja sendiri. Apalagi mereka tidak ada yang membantu “Gak ada asisiten, orang tua juga jauh,” kenangnya.

Dari sana ia belajar jika memang harus ada yang dikorbankan. Di awal kehamilan istri, Fatih selalu memastikan keadaan janin dan kandungan sang

istri. Ia mewanti-wanti jika itu kehamilan palsu atau hamil anggur. Apalagi ini anak pertama, ia bahagia untuk menyambut kabar gembira itu.

Hari yang paling membahagiakan buatnya, saat mendengar kabar istri positif hamil. Diawal kehamilan, Fatih rutin mengajak istrinya untuk ke dokter. Saat pertama kali memeriksa kehamilan ke dokter atas permintaan Fatih, istrinya dibawakan ke spesialis kandungan untuk mengetahui keadaan janin. Saat itu pula, Fatih berinisiatif untuk meminta bantuan dokter agar memberikan kandungan obat penguat.

Fatih memahami betul kondisi istrinya saat itu sedang disibukkan dengan tugas akhir kuliahnya. Kesibukan untuk menemui dosen pembimbing yang menempuh jarak jauh di Narmada, Lombok Barat membuat Fatih yakin meminta bantuan dokter agar istri dan anaknya tetap sehat. Meski bayaran yang dikeluarkan tidak sedikit.

Di usia 5 bulan kehamilan istri, Fatih tetap menjadi suami yang

siaga. Dengan rutin memastikan kebutuhan gizi yang dikonsumsinya dan aktif terlibat dengan anaknya di dalam kandungan.

Ia percaya jika dilihat meski masih dalam janin adalah cara paling efektif untuk membentuk pertumbuhan jaringan otak. Fatih mengenang hal yang paling membahagiakan saat istri hamil yakni ketika menggunakan sebuah aplikasi hallo baby untuk mengidentifikasi anak yang ada di dalam perut istrinya.

Ia dan istrinya sama-sama memiliki aplikasi yang diinstall tersebut di HP masing-masing. Setiap hari mereka mengikuti proses pertumbuhan

anaknya. “Sekarang saya sudah 5 bulan dan sekarang saya sudah ada pohon manga,” ujar Fatih menirukan kembali kabar yang disampaikan pada aplikasi kala itu.

Ia juga percaya jika usia satu hingga lima tahun adalah usia emas untuk pertumbuhan anaknya. Kini, TZD sudah berusia dua tahun. Ia tumbuh sebagai anak yang aktif dan diselimuti kasih sayang ayah dan Ibu.

Fatih menjadi ayah yang siaga untuk memperhatikan kebutuhan gizi anaknya. Ia memberikan asupan makanan sesuai umurnya. Sering mencari informasi tentang pengasuhan ayah memahami apa yang dibutuhkan oleh anak.

Bayangkan saja, jika anak yang berada dalam perut dalam proses kehamilan, ibunya mendapatkan hal yang salah, tentu hal itu juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Menurut Fatih, karena kebiasaan sudah mengajak ngobrol sejak kandungan, kini saat usia TDZ menginjak usia dua tahun begitu tidak diperhatikan, dengan sendirinya akan minta perhatian. Karena ia merasa memiliki.

Ini menjadi bukti jika orang tua suskes membentuk jaringan otak saat dalam kandungan. Karena, dalam kandungan sudah terbiasa mendapat perhatian.

Hal serupa juga dilakukan oleh pasangan keluarga milenial Alfian dan Alawiyah, warga Desa Paok Motong, Kecamatan Masbagik, Lombok

Timur. Sebagai pasangan muda Alfian memiliki peran penting dalam pencegahan stunting.

Sebagai suami, Alfian tidak pernah absen mendampingi proses kehamilan pertama istrinya. Sejak kehamilan pertama hingga proses mau melahirkan, ia rutin mendampingi istri ke posyandu.

Alfian juga ikut bergabung dalam komunitas parenting. Ia rutin memantau pertumbuhan 100 hari pertama kehamilan istrinya. Tidak hanya memenuhi gizi namun secara psikologis juga terpenuhi. Kini di usia anak yang menginjak 5 tahun, ia tidak pernah mengalami stunting dan tumbuh menjadi anak yang aktif dan cerdas.

Alfian mengaku, dalam proses rumah tangganya, khususnya dalam merawat anak, ia tidak pernah hanya membebankan pekerjaan kepada istri. Meski mereka sama-sama bekerja, namun pembagian dan untuk memberikan perhatian kepada anak seringkali dilakukan berdua. Sehingga porsi antara ayah dan Ibu seimbang. ''Soal anak sama-sama diperhatikan termasuk makanannya,'' ungkap Alfian.

Ia juga memahami jika sumber nutrisi atau gizi yang diberikan kepada anak sangat berpengaruh terhadap pertumubuhannya. “Istri, selalu saya minta buat perhatikan gizi anak sampai sekarang,” jelasnya.

Fatih dan Alfian adalah dua portret laki-laki yang menjadi ayah siaga. Namun sayang masih banyak laki-laki yang tidak mengambil peran tersebut dan seringkali abai. Banyak laki-laki yang menyerahkan tugas kehamilan dan mengurus anak yang dititipkan kepada perempuan.


Penanganan Stunting Masih Jauh dari Harapan

Berdasarkan hasil evaluasi Dinas Kesehatan Lombok Timur, peran ayah dalam pencegahan stunting masih jauh dari harapan. “Peran semua orang untuk mengingatkan ayah itu juga sangat kami harapkan,” ungkap Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Lombok Timur Nurhayati saat dihubungi Sapalombok.com, Sabtu 14 Oktober 2022.

Pencegahan itu seharusnya tidak dilakukan saat anak mengalami

stunting. Namun sebaiknya pencegahan dilakukan mulai 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Ditambah lagi, budaya di Lombok, masih banyak yang hanya memperhatikan kebutuhan suami daripada kebutuhan anak. Seperti banyaknya ibu yang lebih mengutamakan makanan utama suami. “Apalagi suami adalah orang yang paling sering didengar,” jelasnya.

Ketika suami paham 1000 HPK, maka ia akan mengingatkan istri, mendampingi, dan mendukung bagaiamana pemenuhan gizi. Apalagi salah satu penyebab terjadinya stunting, yakni pertumbuhan janin yang terganggu di dalam kandungan. Tidak hanya akibat asupan gizi yang kurang, namun juga tidak adanya dukungan suami serta akses informasi yang memadai.

Selain itu, Nurhayati berharap agar ayah bisa terlibat dalam pencegahan stunting, yakni dengan memahami 1000 HPK. Ia menyebut, seandainya semua bapak-bapak mempunyai keinginan untuk mendapingi istri dalam

1000 HPK dan mensuport istri untuk mendapatkan asupan yang sesuai. Bisa dipastikan anak dalam kandungan bisa bertahan . Terlebih bisa menyenangkan istri dan anak dalam kandungan, itu dianggap baik untuk pertumbuhan sang anak.

Lebih jauh lagi, ia juga berharap agar lebih banyak ayah terlibat dalam kelompok dan peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan kesehatan keluarga. Sehingga bisa memahami dan memastikan kebutuhan keluarga.

Harapan yang sama juga datang dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) NTB dan UNICEF. Dua lembaga ini menggagas kerja bareng dengan media agar ayah mengambil peran dalam menekan angka stunting. (CBM/Nahrul Hayat). 


Posting Komentar untuk "Patriarki dan Suami Siaga, Celah Penting Atasi Stunting"